Andai, saat ini kita terburu-buru dalam mendakwahi diri, ataupun orang
lain. Mungkin saja kita lupa. Bahwa Adam 'Alaihis Salam sekalipun, tidak
bisa mencegah anaknya –Qobil- membunuh saudaranya, Habil.
Mungkin, ketika sekarang ini, kita merasa suntuk terkait dakwah yang
kita galakkan, baik untuk diri atau untuk mereka yang kita sayangi, bisa
jadi kita tengah lupa. Bahwa dulu, Nuh Alaihis Salam, yang berdakwah
selama 950 tahun, 'hanya' bisa merangkul beberapa orang saja. Bahkan,
istri dan anak yang sangat dicintainya, mati dalam keadaan kafir. Dalam
kesombongan menentang Kemahakuasaan Allah.
Jika saat ini, sebagai apapun, diri kita merasa jenuh lantaran dakwah
yang kita lakukan terasa sia-sia, bisa jadi karena kita tidak ingat.
Dulu, Luth 'Alaihis Salam, tidak bisa memberi hidayah kepada istri dan
anaknya. Keduanya, dibinasakan lantaran melanggar apa-apa yang telah
Allah perintahkan.
Jika, diri merasa putus asa lantaran dakwah yang kita kerjakan, siang
dan malam, seakan tak berbuah. Bisa jadi, kita mulai lupa. Bahwa Asiyah,
tidak bisa mencegah suami tercintanya dari kekufuran. Bahkan, suami
yang sangat dicintainya itu, mengaku sebagai Tuhan. Dan itu, adalah
kejahatan yang sangat besar.
Pun, dengan Ibrahim sang Khalil. Beliau yang menyejarah lantaran
dakwahnya. Melawan Penguasa Kafir dengan hikmah, dilanjutkan dengan
mendakwahi anaknya yang akhirnya menjadi Nabi panutan juga, dalam
sejarah beliau, tercatat jelas. Bahwa Ayah kandungnya, adalah gembong
kekafiran. Bahkan, ayahnya sangat 'hebat' lantaran profesinya : Pembuat
'Tuhan'.
Begitupula dengan Muhammad Mulia, Junjungan kita. Beliau, tak kuasa
menghadiahi hidayah kepada pamannya, Abu Thalib. Padahal, melalui
'tangan' dakwah beliau, tak terhitung banyaknya orang-orang yang
berbondong menyembah Allah.
Kesemua itu, adalah pelajaran. Bahwa tugas utama kita hanyalah
mendakwahi. Menyampaikan ajaran. Pun, dengan cara yang telah Allah
gariskan, dengan cara yang Rasulullah sunnahkan. Bukan selain itu.
Kesemua itu bukan pula sebuah aib. Maka yang dialami oleh
manusia-manusia mulia itu, oleh Adam, Nuh, Luth, Asiyah, Ibrahim dan
Asiyah juga Rasulullah Alaihimus Salam, bukanlah aib. Bukan itu!
Peristiwa itu, adalah sebuah pelajaran sangat berharga untuk diingat
oleh semua da’i, di semua generasi.
Teringatlah sebuah kisah. Fulan, namanya. Dia merantau dari kampong
menuju Ibu Kota. Di Ibu Kota, dia mengikuti di rumah seorang Bos.
Mualaf. Awalnya, si Fulan sempat dilarang untuk melaksanakan Shalat
Berjama’ah di Masjid. Dengan alasan yang tak logis. Tapi Fulan, tak
gentar. Tak mundur selangkahpun.
Dibuatlah siasat. Ia ke Masjid ketika Bosnya tidur. Setiap hari. Ketika
waktu shalat tiba, dan bosnya tengah terjaga, diurungkanlah pergi ke
Masjid. Sebagai strategi pula. Tapi ketika Ruku’ dan Sujud di rumah, ia
menangis. Mengadukan semuanya pada Sang Maha Kuasa.
Hari berlalu, bulan berjalan. Tak terasa, terhitunglah tahun. Perlahan,
si bos mulai menunjukkan simpatinya. Fulan terus berdoa, agar Allah
berikah hidayah kepada bosnya. Ia juga bekerja dengan sepenuh hati.
Sebisa mungkin mengukir prestasi, sebisa mungkin tak melanggar
perintahnya. Hingga akhirnya, Fulan berhasil mengajak teman-temannya
untuk berkumpul di rumah Bos. Sepekan sekali, kajian al-Qur’an. Sekedar
melancarkan bacaan yang macet.
Allah Maha Melihat. Allah Maha Kuasa. Hingga akhirnya, si Bos mulai
belajar. Shalat Jum’at, Tarawih, Shalat Id, hingga belajar shalat Lima
Waktu. Ditambah dengan berjama’ah di Masjid. Akhirnya, Fulan hanya
terduduk dalam syukur, ketika suatu siang, ia berjalan bersama dengan
Bosnya menyambut seruan Shalat Berjama’ah dari Masjid yang tak bosan
menerima siapa saja yang mau mereguk hidayah.
Begitulah dakwah. Kadang, perlu retorika. Tapi dalam banyak kasus,
teladan lebih diutamakan. Bahkan, teladan lebih utama dari ribuan
taujih.
Semoga kita semakin mengerti. Bahwa dakwah, memang jalan panjang. Bukan isapan jempol apalagi kerja instan bagai sim salabim.
Semoga kita juga semakin memahami. Bahwa dakwah bukan caci maki. Tapi
berbagi hikmah. Memberi hikmah, dan segala tentang hikmah. Semoga kita
tak pernah lupa, bahwa kita semua adalah Da’i sebelum sebagai apapun
kita saat ini. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar